Seorang pendeta di daerah Arauca, Kolombia bagian utara, telah dibunuh oleh kaum pemberontak kiri ketika mereka masuk dan menguasai acara ibadah minggu yang sedang berlangsung pada 13 Maret 2006 lalu. Hal ini merupakan ancaman serius bagi umat Kristiani di Kolombia, demikian laporan dari lembaga Kristiani Internasional, Open Doors.
Kaum pemberontak dari National Liberation Army (ELN) Kolombia menelepon pendeta dari Gereja Ebenezer yang berada di Saravena, Kolombia, pada pukul 05:30 waktu setempat, dan mengatakan untuk bertemu dengan mereka di sebuah daerah dekat Sungai Arauca pada pukul 07:00 waktu setempat. Ketika sang pendeta tiba di tempat tujuan yang disepakati, para gerilyawan membawanya oleh kano ke sisi lain dari sungai ke Venezuela yang kemudian membawanya ke kamp gerilyawan, tempat markas mereka. Perjalanan dari satu tempat sampai ke kamp gerilyawan memakan waktu 40 menit.
Selama tiga jam di kamp gerilyawan, seorang pemberontak ELN memperingatkan sang pendeta memiliki tiga pilihan: bekerja sama dengan kaum pemberontak, pergi atau mati.
Mereka memperingatkan bahwa sang pendeta untuk tidak berkhotbah kepada kelompok gerilyawan ELN mengenai pesan-pesan perdamaian yang bertentangan dengan tujuan perjuangan mereka dan tidak dapat mendukung calon politikus Kristiani tanpa izin.
"Kami tidak ingin sang pendeta dan orang-orang yang menghadiri gereja mereka untuk berpartisipasi dalam politik," kata salah seorang pemberontak kepada Pendeta. "Kami tidak ingin pengabaran Injil sedunia berada di bidang politik, karena Anda tidak mendukung cita-cita kami. Kami tidak memiliki kesamaan dengan Injili sedunia."
Pihak gerilyawan ELN tidak keberatan sang pendeta berkhotbah di gereja-gereja, tetapi dengan syarat tidak berbicara tentang politik perang atau damai kepada jemaat. Sebelum sang pendeta pergi, pihak gerilyawan ELN mengatakan ELN tidak akan menunjukkan belas kasihan kepada para anggota gereja jika mereka terus tidak mendengar arahan dari mereka (ELN, red).
Ancaman seperti itu bukanlah hal baru bagi sang pendeta. Pada tahun 2006, salah satu sumber Open Doors mengatakan, dia dan keluarganya harus meninggalkan gereja dia gembalai di desa Fortul dan banyak harta milik mereka setelah pihak gerilyawan mengancam membunuhnya bila berkhotbah dan melayani baik di tempat-tempat ibadah maupun rumah-rumah warga.
Pihak ELN memaksa mengambil kontrol kawasan Arauca pada tahun 2007 dengan cepat dan ibadah-ibadah Kristiani dinyatakan ilegal; Januari 2008, ada tujuh gereja yang telah ditutup dan melarang mereka untuk berkhotbah mengenai injil Kristus di daerah pedesaan.
Menurut Laporan Kebebasan Beragama yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri AS pada tahun 2008, Unit Hak Asasi Manusia dari Kantor Jaksa Penuntut Umum Kolumbia tengah menyelidiki pembunuhan di tahun-tahun sebelumnya dari 14 anggota dari kalangan pendeta yang diyakini telah menjadi target karena kritik yang dikeluarkan kepada mereka kepada organisasi teroris. Presiden untuk Program Hak Asasi Manusia melaporkan bahwa hampir semua imam dari pembunuhan oleh kelompok teroris dapat diberikan ke pihak gerilyawan sayap kiri, terutama FARC.
"Pemimpin Gereja Katolik dan Protestan mengatakan pembunuhan dari pemimpin agama dalam masyarakat pedesaan yang umumnya tidak dilaporkan karena masyarakat 'terisolasi dan takut rugi," menurut laporan catatan Departemen Luar Negeri AS. "Pemimpin agama biasanya memilih untuk tidak mencari perlindungan pemerintah karena mereka suka damai dan takut akan pembalasan dari kelompok teroris."
Sebuah organisasi hak asasi manusia yang berafiliasi dengan Gereja Mennonite, Justicia, Paz y Acción No-Violenta, menegaskan bahwa pihak gerilyawan, mantan para kalangan militer, dan kelompok kriminal baru sama-sama berkomitmen pidana kekerasan terhadap pemimpin gereja dan penginjil, menurut laporan departemen negara.
Pemberontak kiri yang bertentangan dengan ajaran Kristiani yang mengajarkan perdamaian terus mengeluarkan ancaman kekerasan terhadap gembala dan pemimpin Kristen di berbagai daerah Arauca. Pada Feb 28, pihak gerilyawan ELN menculik seorang pendeta ke sebuah kamp gerilya di Venezuela. Mereka kecewa karena gembala telah mengambil keuntungan dari kehadiran tentara dari Kolombia untuk menentang para kaum gerilyawan. Sang pendeta berkhotbah mengenai Kristus kepada orang banyak dan menggunakan mimbarnya untuk mengangkat masalah perdamaian. Para pemberontak menuduh pihak Kristiani tidak membantu mereka dalam proyek sosial.
"Berkhotbahlah di dalam gereja, tapi jangan biarkan mereka mati. Anda harus khawatir bagaimana untuk menyelamatkan orang-orang yang bersama-sama dengan Anda," kata seorang gerilyawan kepada salah satu pendeta, yang tidak ingin diketahui namanya. "Kami akan mengambil tindakan tegas kepada sang pendeta sehingga mereka taat lagi."
Pendeta pertama kali melakukan kontak dengan pemberontak 12 tahun lalu, ketika pengikut ajaran Marxist dari Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia menahan dia untuk beberapa hari.
9 Desember 2008 di Puerto Jordan, di sebuah kota Arauquita, kalangan pemberontak kiri memberi waktu delapan hari kepada Pendeta Rodolfo Almeida, 40 tahun, untuk meninggalkan kota tersebut. Open Doors melaporkan bahwa seorang pemuda datang ke rumahnya pada pukul 20:30 waktu setempat dan menanyakan mengenai isterinya. Terkejut dengan kedatangan orang asing tersebut ke rumahnya, Almeida menanyakan maksud orang asing tersebut mencari isterinya. Laki-laki tersebut berkata bahwa ia harus meninggalkan kota dalam waktu delapan hari atau hidupnya akan terancam.
Orang asing ini menolak untuk memberitahukan organisasi dimana dia berasal kepada Almeida. Dia hanya mengingatkan bahwa ia telah memberikan peringatan. Pendeta yang sama telah menerima ancaman dari pemberontak ELN pada 2007, dan pada akhir 2008, Ia dan isterinya beserta dengan tiga anak-anak mereka memutuskan untuk meninggalkan kota tersebut. Almeida telah melayani lebih dari dua tahun sebagai Wakil Gembala dari Gereja Ebenezer, Arauquita.
Dua orang Walikota Krisitiani di Arauca juga telah didatangi oleh kaum pemberontak dan diancam akan dibunuh, dan pada 15 Febuari 2008 seorang majelis gereja telah dibunuh.
Semenjak kaum pemberontak ELN telah mengambil alih kantor pada Januari 2008, Walikota Arauquita dan Saravena telah diserang oleh pemberontak ELN beberapa kali, menurut laporan Open Doors. Mereka ada yang diculik oleh pihak gerilyawan yang marah karena menolak untuk terlibat dalam kegiatan illegal pemberontak.
"Dalam kehidupan kami, kami telah kehilangan hak-hak orang yang biasa," kata Walikota Arauquita kepada Open Doors. "Sekarang kami adalah target militer. Allah membawa saya di sini, tapi kadang-kadang saya tidak bermaksud untuk melanjutkan, karena menjadi Kristiani dalam konteks seperti ini di mana hidup adalah harga yang mahal."
Tahun lalu, tambahnya, pihak gerilyawan ELN membunuh tujuh orang Kristen di daerah Arauca. "Beberapa dari mereka adalah pejabat publik, atau tokoh lain yang cukup dikenal oleh orang banyak sebagai orang-orang yang beriman dalam Kristus," kata Walikota Arauquita.
Open Doors melaporkan bahwa majelis Francisco Delgadillo, seorang Kristen yang telah menerima ancaman dari pemberontak ELN, telah dibunuh karena dia kembali ke rumahnya pada 15 Febuari.
Wilayah FARC
Di seberang sungai, Venezuela menyediakan pelabuhan yang aman bagi ELN, dimana Departemen Luar Negeri AS telah "mencap" mereka sebagai kelompok teroris. Dengan persetujuan Presiden Venezuela, Hugo Chávez, dengan menggunakan negara tersebut sebagai dasar kekuatan gerilya yang akan pindah ke daerah Kolumbia yang kaya akan minyak, yakni daerah Arauca.
Meskipun ELN berselisih paham dengan pihak Marxist FARC, di Arauca, tetapi kedua kelompok pemberontak tersebut tetap bersama tanpa ada konflik; dari basis mereka di Venezuela, menurut Open Doors, dua kelompok pemberontak yang hidup damai tersebut berbagi jalur & jalan.
Gerilyawan FARC mengontrol barat daya dari daerah Huila, di mana November lalu empat Kristiani dibunuh. Open Doors melaporkan bahwa keempat orang yang dibunuh tersebut adalah berasal dari Gereja Alianza Cristiana di Santana Ramos. Farley Cortés telah tewas 5 November di desa Plumeros, Hermes Coronado Granado telah dibunuh pada 8 November di Santana Ramos, dan 10 hari kemudian pasangan yang menikah, Dora Lilia Saavedra dan Ferney Ledezma, juga tewas di sana.
Pihak gerilyawan menangkap Saavedra, 40, dan Ledezma, 35, dari sekolah tempat Saavedra mengajar pada 18 November. Mereka diikat pada lantai rumah tua dan ditembak beberapa kali. Gerilyawan FARC mengambil ketiga anak-anak pasangan Saavedra dan Ledezma yang berusia 3 tahun, 5 tahun dan 12 tahun dan menaruh mereka di dekat rumah agar bisa mendengar kematian kedua orang tua mereka yang dibunuh dengan senjata api. Pasangan ini telah menikah selama lima tahun, dikenal sebagai orang yang dengan gigih memproklamirkan Kristus di desa yang berbatasan dengan daerah pertanian yang dimiliki oleh mereka.
Pendeta dimana pasangan Saavedra dan Ledezma berjemaat, Hernan Camacho telah bergerak dengan keluarganya dari daerah tersebut setelah menerima ancaman kematian.
FARC meneror keluarga Camacho, saudaranya dan keluarga Saavedra karena menolak untuk mengikuti ajaran ideologi gerakan pemberontakan tersebut, kata Pendeta Camacho kepada Open Doors.
"Pihak gerilyawan mengatakan bahwa kami, orang yang menginjili, adalah musuh terburuk karena kami mengajar orang-orang tidak menggunakan senjata," kata Camacho. "Mereka menuduh kami menggelapkan pikiran kami untuk tidak menuntut hak-hak terhadap pemerintah. Pihak gerilyawan yang mengatakan bahwa itu adalah kesalahan kami ketika masyarakat lebih memilih untuk melanjutkan ke gereja dan tidak bergabung dengan mereka."
Motif pembunuhan yang masih dalam penyidikan, tetapi Open Doors melaporkan bahwa Huila dalam zona historis dikenal sistematis penganiayaan jemaat oleh pihak gerilyawan. Pada bulan Juli 2007, pendeta JAEL Cruz García, 27, dan pendeta Humberto Mendez Montoya, 63 tahun, dibunuh di desa La Legiosa, Huila bagian utara. Pada tahun 2002, dua pendeta lainnya, Abelardo Londoño dan Yesid Ruiz, telah menembak dan dibunuh di daerah yang sama.
Setelah kehilangan tiga tokoh kunci pada tahun lalu telah diusir keluar dari pusat perkotaan oleh pasukan pemerintah, FARC telah membuat kampanye dengan melakukan aksi teror yang dimaksudkan untuk membuat keberadaan mereka diketahui di kota-kota, menurut The Christian Science Monitor. Di Huila, ibukota Neiva, terjadi sebuah ledakan bom pada 6 Maret yang merusakkan sebuah toko perangkat keras (hardware) dan lokasi bisnis di sekitarnya, menurut berita dari surat kabar setempat, dan pada 16 Januari 2007 terjadi sebuah ledakan mobil di pusat perbelanjaan. Pihak pemberontak FARC mengaku bertanggung jawab atas peristiwa pemboman di kedua tempat tersebut.
Mari Berdoa bagi orang-orang percaya di Kolombia agar dapat mempertahankan iman mereka dan dapat menjadi saksi bagi banyak orang di dunia ini yang belum mendengar kabar baik di seluruh muka bumi ini.
Sumber : cbn.com/bm